Kita memasuki era dimana biologi molekuler tidak selalu terkait dengan rekayasa genetika berbasis transgenesis. Teknik genome editing seperti CRISPR-Cas9 hadir untuk memperbaiki teknik rekayasa genetika klasik. Jumlah paten dan industri yang meningkat terkait CRISPR menunjukkan potensi besar dan manfaat dari teknik tersebut untuk kebaikan masyarakat. Kita memasuki era dimana kita akan bertanya kepada diri sendiri, “Apakah ini akhir dari polemik tanaman transgenik?”
Teknologi genome editing yang memudahkan modifikasi genom pada berbagai organisme hidup telah menjadi terobosan revolusioner di bidang biologi. Secara umum, genome editing merupakan teknik yang didasarkan pada penggunaan nuklease spesifik sekuen (sequence-specific nucleases, NSS) seperti nuklease tipe zinc-finger, nuklease tipe transcription activator-like effector (TALEN), hingga sistem CRISPR-Cas untuk mengedit genom dari organisme target [1]. Ketiga sistem NSS tersebut menghasilkan potongan utas ganda atau yang dikenal sebagai double-stranded breaks (DSBs) pada situs target di dalam genom yang kemudian secara alami diperbaiki oleh sel melalui mekanisme non-homologous end joining (NHEJ) atau homologous recombination (HR). Kedua mekanisme tersebutlah yang pada akhirnya membuat mutasi pada gen akibat kehilangan utas mRNA atau subtitusi gen [2].
Salah satu sistem genome editing yaitu CRISPR-Cas9 menjadi populer dikarenakan kemudahan penerapan hingga pertimbangan ekonomis sebagai teknologi yang low-cost dibandingkan kedua sistem pendahulunya yaitu zinc-finger dan TALEN [3]. Kinerja sistem CRISPR-Cas9 didasarkan pada prinsip penggunaan situs pendek yang menyasar daerah pada genom yaitu single-guide RNAs (sgRNAs) [4]. Sebuah sgRNA dapat menyasar secara spesifik gen tertentu di dalam genom karena dibuat menggunakan teori pelekatan basa (base-pairing) yang dicetuskan oleh Watson-Crick [5]. Teori tersebut menyatakan bahwa sebuah primer (utas pendek DNA) dapat menempel pada pasangan komplementernya di sebuah genom tanpa melakukan kesalahan. Berdasarkan kemudahan tersebut, sistem CRISPR-Cas9 kini telah menjadi platform riset dari berbagai jenis organisme, tidak terkecuali sebagian besar spesies tanaman.
Teknik genome editing berbasis CRISPR-Cas9 pada tanaman umumnya dilakukan dalam empat tahapan. Pertama, desain sgRNA yang spesifik terhadap gen target harus dilakukan secara in silico. Untuk dapat melakukan ini, seorang peneliti cukup mengetahui dan menggunakan tools yang tersedia secara daring (online) [6]. Sayangnya, desain sgRNA secara daring ini belum benar-benar diadaptasikan untuk tanaman. Dalam usaha mendapatkan sgRNA yang tepat, informasi genom dari tanaman target sangat diperlukan namun demikian genom dari berbagai spesies tanaman masih terbatas. Di sisi lain, koleksi data hingga studi secara sistematik untuk efisiensi sgRNA dalam tanaman belum banyak dilakukan sehingga sgRNA terkadang kurang optimal saat diaplikasikan. Kedua, sgRNA yang telah didesain diujicobakan pada sistem heterolog seperti protoplas [7]. Ketiga, setelah tervalidasi, sistem CRISPR-Cas9 lengkap dengan sgRNAs dimasukkan ke dalam sel tanaman umumnya menggunakan transformasi via Agrobacterium atau via bombardir partikel. Setelah berhasil masuk ke dalam sel tanaman, protein Cas9 dan sgRNA akan bekerja untuk mengenali situs spesifik target dan mengeditnya. Keempat, tanaman teredit (edited plants) dapat diidentifikasi dengan teknik genotyping berbasis PCR untuk mengkonfirmasi jika gen target telah benar-benar teredit [8].
Fitur yang unik dari sistem genome editing mengundang diskusi yang panjang dari berbagai stakeholders di kalangan masyarakat dunia. Tema hangat diskusi tersebut terutama terkait apakah tanaman teredit hasil genome editing termasuk dalam kategori tanaman transgenik atau yang kita kenal sebagai genetically modified organisms (GMOs). Meskipun perdebatan masih terus berlangsung dari berbagai pemangku kepentingan di berbagai negara maju di dunia, Badan Pertanian Swedia telah menyatakan bahwa tanaman hasil CRISPR-Cas9 tidak termasuk ke dalam definisi GMO yang dikeluarkan oleh Uni Eropa [10]. Keputusan tersebut membuat tanaman teredit tidak memerlukan regulasi khusus. Pemahaman yang sama dengan Swedia telah diputuskan juga di Amerika Serikat dan Kanada. Dalam buletin resmi pada tanggal 28 Maret 2018, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menyatakan tidak akan membuat aturan rumit terkait tanaman teredit oleh genome editing selama tidak dikembangkan dari tanaman hama atau menggunakan hama tanaman. Sekretaris Pertanian dari USDA, Sonny Perdue, bahkan menyatakan dukungan terhadap genome editing selama teknik tersebut dapat mempercepat proses pemuliaan tanaman untuk ketersediaan pangan yang akan semakin sulit pada waktu mendatang. Hal tersebut tentu saja membuka peluang bahwa dalam waktu relatif singkat kita akan melihat dan mungkin mengkonsumsi pangan hasil genome editing di meja makan.
Sesungguhnya apa yang membedakan antara tanaman transgenik melalui rekayasa genetika klasik dan tanaman cisgenik melalui genom editing? Secara terminologi, tanaman dinyatakan transgenik atau GMO adalah ketika mengandung DNA dari spesies yang tidak kompatibel secara seksual [11]. Gambaran paling sederhana dari terminologi tersebut adalah seperti memasukkan gen dari bakteri atau hewan ke dalam sel tanaman dimana secara alami sel tanaman tersebut tidak memiliki gen tersebut. Dalam bahasa yang lebih sederhana, sel tanaman tersebut mengandung DNA “asing” di dalam tubuhnya karena rekayasa genetika. Sementara, teknik genome editing tidak memasukkan gen “asing“ ke dalam sel organisme target namun mengedit dan memperbaikinya sehingga organisme dapat “bekerja” dengan lebih baik. Oleh sebab itu, organisme yang dihasilkan dari genome editing termasuk ke dalam organisme cisgenik. Organisme cisgenik mengandung DNA dari spesies yang itu sendiri atau yang kompatibel secara seksual [12].
Terlepas dari perdebatan antara cisgenesis dan transgenesis yang masih berlangsung, kemunculan teknik genome editing telah mengubah sektor bisnis dalam bidang bioteknologi Sejak tahun 2013, perusahaan-perusahaan besar dalam bidang bioteknologi terutama yang menggunakan CRISPR telah menerima lebih dari 600 juta USD dalam bentuk investasi modal dan pasar publik [13]. Di sisi lain, jumlah aplikasi paten terkait teknologi genome editing meningkat tajam 15 kali selama sepuluh tahun terakhir. Sebanyak 42 paten Amerika Serikat telah diajukan pada tahun 2014. Kini, sejumlah 786 dokumen paten terkait CRISPR telah terdaftar di kantor paten Amerika Serikat dimana sebagian besar dimiliki oleh institusi akademik seperti Broad Institute. Hal tersebut juga menunjukkan betapa riset terkait CRISPR telah mendorong institusi akademik untuk mendekati industri pengguna serta meraup keuntungan dari pengembangan teknologinya.
Melihat tren saat ini, teknik genome editing sepertinya masih akan terus berkembang baik dari sisi riset maupun sisi industri. Kemajuan pesat pengetahuan akan sistem CRISPR-Cas9 pada bidang kesehatan tentu dapat menjadi pendorong pemanfaat teknik serupa pada bidang pertanian dan perkebunan [14]. Beberapa spesies tanaman pertanian telah dikembangkan sifat-sifat terbaiknya menggunakan teknik genome editing. Sebagai contoh, tanaman tomat telah diedit menggunakan sistem CRISPR-Cas9 untuk mengekspresikan antosianin sehingga buahnya berwarna ungu seperti blueberry dengan keunggulan rendahnya resiko penyakit jantung dan kanker. Dari sisi teknoekonomi, tanaman tomat lebih murah dan mudah ditemukan dimanapun sehingga menjadi solusi alternatif konsumsi blueberry [15]. Tanaman-tanaman pertanian lain seperti kedelai, padi, jagung, dan gandum juga telah “diperbaiki” menggunakan sistem CRISPR-Cas9 sehingga membawa produktivitas yang lebih tinggi.
Dalam bidang perkebunan, siklus hidup produktif yang panjang pada sebagian besar tanaman perkebunan seperti kopi, karet, dan kelapa sawit telah menjadi penghambat utama dalam metode seleksi dalam teknik pemuliaan konvensional. Peranan genome editing dalam pemuliaan tanaman perkebunan juga menjadi suatu prospek masa depan yang menjanjikan. Saat ini, para pemulia tanaman perkebunan kesulitan mencari teknik pemuliaan yang cepat dan tepat untuk menghasilkan bibit tanaman perkebunan dengan fenotip yang dibutuhkan untuk mendukung peningkatan produktivitas, seperti ketahanan terhadap cekaman abiotik dan ketahanan terhadap hama ataupun penyakit penting.
Kini, kita memasuki era dimana biologi molekuler tidak selalu terkait dengan rekayasa genetika berbasis transgenesis. Kita memasuki era dimana kita akan bertanya kepada diri sendiri, “Apakah ini akhir dari polemik tanaman transgenik? Apakah akhirnya kita menemukan teknologi yang akan menyelamatkan ketersediaan pangan masyarakat dunia?”.
Referensi
1. Songstad DD, Petolino JF, Voytas DF, Reichert NA. Genome Editing of Plants. Critical Reviews in Plant Sciences. 2017;36(1):1-23.
2. Yin K, Gao C, Qiu J-L. Progress and prospects in plant genome editing. Nature Plants. 2017;3:17107.
3. Belhaj K, Chaparro-Garcia A, Kamoun S, Nekrasov V. Plant genome editing made easy: targeted mutagenesis in model and crop plants using the CRISPR/Cas system. Plant Methods. 2013;9(1):39.
4. Doudna JA, Charpentier E. The new frontier of genome engineering with CRISPR-Cas9. Science. 2014;346(6213).
5. Cleaves HJ. Watson–Crick Pairing. In: Gargaud M, Amils R, Quintanilla JC, Cleaves HJ, Irvine WM, Pinti DL, et al., editors. Encyclopedia of Astrobiology. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg; 2011. p. 1775-6.
6. Doench JG, Fusi N, Sullender M, Hegde M, Vaimberg EW, Donovan KF, et al. Optimized sgRNA design to maximize activity and minimize off-target effects of CRISPR-Cas9. Nat Biotech. 2016;34(2):184-91.
7. Lin CS, Hsu CT, Yang LH, Lee LY, Fu JY, Cheng QW, et al. Application of protoplast technology to CRISPR/Cas9 mutagenesis: from single‐cell mutation detection to mutant plant regeneration. Plant Biotechnology Journal. 2018;0(0):1-16.
8. Joung J, Konermann S, Gootenberg JS, Abudayyeh OO, Platt RJ, Brigham MD, et al. Protocol: Genome-scale CRISPR-Cas9 Knockout and Transcriptional Activation Screening. bioRxiv. 2016.
9. Ledford H. Fixing the tomato: CRISPR edits correct plant-breeding snafu. Nature News. 2017;545(7655):394.
10. Hefferon KL, Herring RJ. The End of the GMO? Genome Editing, Gene Drives and New Frontiers of Plant Technology. Journal. 2017;7(1):1-32.
11. Stricklen M. Transgenic, Cisgenic, Intragenic and Subgenic Crops. Advances in Crop Science and Technology. 2015;03(02):1-2.
12. Holme IB, Wendt T, Holm PB. Intragenesis and cisgenesis as alternatives to transgenic crop development. Plant Biotechnology Journal. 2013;11(4):395-407.
13. Brinegar K, K. Yetisen A, Choi S, Vallillo E, Ruiz-Esparza GU, Prabhakar AM, et al. The commercialization of genome-editing technologies. Critical Reviews in Biotechnology. 2017;37(7):924-32.
14. Gao C. The future of CRISPR technologies in agriculture. Nature Reviews Molecular Cell Biology. 2018;39:1-2.
15. Čermák T, Baltes NJ, Čegan R, Zhang Y, Voytas DF. High-frequency, precise modification of the tomato genome. Genome Biology. 2015;16(1):232.