Kemerosotan daya dukung lahan akibat input produksi berupa bahan kimia buatan, secara langsung berdampak linier terhadap pelandaian (leveling off) atau penurunan (declining effects) kapasitas penyediaan hasil pangan dan perkebunan. Implementasi bioteknologi tanah sebagai upaya menggeser pupuk kimia buatan ke hayati merupakan jawaban dari permasalahan tersebut. Agen hayati ini memiliki fungsi untuk meningkatkan efisiensi pelarutan hara didalam tanah. Efisiensi ini terjadi karena kemampuan mikroba tertentu dalam menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang bermanfaat dalam proses agregasi partikel primer tanah dan/atau penghancuran ikatan unsur hara yang relatif sulit terlarutkan. Pemanfaatan pupuk berbasis hayati ini memiliki prospek yang strategis, tidak hanya untuk lingkungan yang berkelanjutan, tetapi juga memberikan keuntungan ekonomi bagi para pembudidaya tanaman melalui peningkatan produktivitas tanaman.
Bioteknologi tanah (soil biotechnology) adalah teknologi yang memanfaatkan organisme tanah baik dalam ukuran makro, meso dan mikrobiota untuk berbagai tujuan seperti perbaikan sifat biologi tanah yang selanjutnya mempengaruhi aspek kimia dan fisika, guna memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan produksi tanaman serta memperbaiki kesehatan tanah (soil bioremediation). Perbaikan dan peningkatan kualitas pertumbuhan tanaman melalui peningkatan ketersediaan unsur hara, proteksi tanaman dari hama dan penyakit, serta penguraian limbah merupakan domain dari bioteknologi tanah. Dalam bidang pertanian, bioteknologi tanah bertujuan antara lain untuk meningkatan ketersediaan unsur hara dalam tanah, mempercepat proses dekomposisi bahan organik, melindungi tanaman dari cekaman fisiologis, merombak polutan menjadi bentuk yang lebih aman dan membersihkan tanah melalui bioremediasi tanah guna memperoleh tanah yang sehat serta perbaikan pertumbuhan yang selanjutnya meningkatkan produksi tanaman sehingga dapat mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Secara ringkas, bioteknologi tanah merupakan cara-cara untuk memanipulasi mikroba tanah dan proses metabolismenya dengan sasaran produksi tanaman yang optimum.
Dewasa ini, konsep pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) didefinisikan sebagai sistem pertanian yang menerapkan prinsip ekologi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang (1) secara teknologi dapat dilaksanakan, (2) secara ekonomi menguntungkan dan (3) secara sosial dapat diterima masyarakat dalam memproduksi tanaman dan hewan (ternak dan ikan), termasuk tanaman kehutanan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Konsep ini muncul sebagai upaya mewujudkan pertanian yang ramah lingkungan. Akar masalah yang menyebabkan konsep ini makin “booming” di masyarakat adalah akibat negatif dari revolusi hijau yang tidak sehat. Pada tahun 90-an, kerusakan lingkungan semakin menonjol, berbagai keluhan dari petani seperti tanah yang menjadi keras, panas, sukar diolah, produksi menurun, serangan hama dan penyakit makin merajalela, gagal panen makin sering dilaporkan. Sejak itu mulailah disadari bahwa kerusakan tanah dan lingkungan telah terjadi. Lembaga penelitian pertanian melaporkan bahwa sebagian besar tanah pertanian di Indonesia sudah rusak yang antara lain dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik tanah, tanah yang mengeras dan memadat, sukar diolah, erosi yang meningkat dan produktivitas tanah yang menurun [1].
Munculnya bioteknologi, khususnya pemanfaatan mikroba dalam pengelolaan tanah menghasilkan suatu pendekatan baru dalam mengatasi berbagai masalah yang tidak dapat dipecahkan secara efisien. Pemanfaatan mikroba menawarkan teknik-teknik yang memungkinkan untuk memantapkan agregat tanah, meningkatkan serapan unsur hara, mengendalikan patoen dalam tanah, dan mempercepat pelapukan limbah organik padat.
Penggunaan pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk hayati yang mengandung inokulan mikrob esensial atau yang lebih dikenal dengan istilah pupuk organik hayati (bio-organic fertilizer) merupakan kunci sukses untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik hayati bertujuan untuk mengurangi jumlah penggunaan pupuk kimia sekaligus mengurangi biaya pemupukan melalui peningkatan efisiensi pemupukan, memperbaiki sifat tanah dan mengurangi pencemaran lingkungan. Pengembangan pupuk organik hayati di Indonesia selama dua hingga tiga dekade terakhir meliputi mikrob penambat N [4], pelarut P [5], pelarut K [6], mikrob pendegradasi polutan [7], mikrob perlindungan terhadap penyakit tanaman [8] dan remediasi herbisida [9], mikoriza untuk peningkatan kemampuan tanaman dan restorasi lahan [10] serta dekomposer bahan organik [11].
Berbagai bentuk pengembangan yang sudah banyak diteliti seperti biochar atau arang pirolisis dari limbah tanaman perkebunan [12], perbaikan sifat fisik dan mekanis tanah dengan mediasi hayati [13], penggunaan substansi humik dan batuan fosfat sebagai bentuk pupuk organo-kimia [14], hingga yang terkait dengan interaksi mikrob dan enzim tanah [15] . Selain itu, pengembangan mutakhir saat ini adalah melalui pendekatan epigenetik untuk menginokulasi mikrob dengan pupuk kimia sebagai bahan pembawanya [16]. Peran penting mikrob pelarut mineral esensial untuk melarutkan silika misalnya [17], sejak tahun 2015 mulai banyak diteliti. Interaksi terhadap produktivitas tanaman yang meningkat selanjutnya mendorong pengembangan pupuk organik hayati berbasis pelarut mineral tanah yang berkelanjutan. Kedepannya peran dari mikrob pelarut mineral ini adalah merupakan alternatif jawaban penyediaan sejumlah unsur hara makro maupun mikro dalam tanah. Melalui berbagai inovasi seperti kombinasi pupuk organik hayati dalam bentuk slow release fertilizer [18], bioenkapsulasi [19], nano-fertilizer [20] serta teknologi lain yang dapat mempertahankan viabilitas mikrob di tanah pertanian juga terus dikembangkan oleh banyak ilmuwan diberbagai institusi riset.
Aplikasi pupuk organik hayati terbukti merangsang pertumbuhan tanaman dan serapan hara. Penggunaannya bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia, sehingga dosis pupuk dan dampak pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dapat secara nyata dikurangi. Pengembangan industri pupuk organik hayati menjanjikan keuntungan yang besar, baik bagi produsen, konsumen, maupun bagi perekonomian nasional. Dalam hal ini terkait dengan penciptaan lapangan kerja baru dengan berdirinya pabrik pupuk hayati, peningkatan ekspor pupuk kimia dari hasil penghematan/ substitusi pupuk hayati, dan menjadikan pupuk hayati sebagai komoditas ekspor. Prospek industri pupuk hayati ini tentu menjanjikan, terlebih lagi dengan desakan mutu pangan yang bebas kontaminasi bahan kimia buatan semakin kuat. Tentu saja bahwa pupuk berbasis hayati ini tidak mampu menggantikan sepenuhnya pupuk kimia buatan, namun secara signifikan akan menekan konsumsinya sehingga masih tergolong aman bagi kesehatan manusia [22].
Temuan-temuan tersebut harus terus dipelajari dan dikembangkan serta dikomersialisasikan agar masyarakat luas dapat memanfaatkannya. Pemanfaatan bahan organik tanah untuk dikembalikan kedalam tanah nyata memberikan hasil peningkatan sumber energi dan senyawa lain yang dimanfaatkan oleh mikrob, sejumlah unsur hara juga akan tersedia. Pemberian pupuk organik hayati ini tentu harus dilakukan juga dengan pemberian input bahan organik kedalam tanah. Produktivitas tanaman yang meningkat disertai dengan efisiensi pemupukan tentu dapat mendorong kedaulatan pertanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan perkebunan sehingga bangsa Indonesia dapat mewujudkan cita-citanya sebagai negara agraris.
Referensi
1. Anas I. 2016. Pentingnya bioteknologi tanah dalam mencapai sistem pertanian yang berkelanjutan. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Institut Pertanian Bogor (ID): Bogor.
2. Soil Biological Properties. 2017. [Diakses pada 23 Oktober 2017] http://www.terrabiotec.com/en/biological-properties.php.
3. The Hunt for Antibiotics in Soil. 2015. [Diakses pada 23 Oktober 2017] https://dl.sciencesocieties.org/publications/sh/articles/56/5/sh2015-56-5-f
4. Razie F, A Iswandi. 2005. Potensi Azotobacter spp. (dari lahan pasang surut Kalimantan Selatan) dalam menghasilkan Indole Acetic Acid (IAA). Jurnal Tanah dan Lingkungan. 7 (1): 35.
5. Puspitawati MD, Sugiyanta, A Iswandi. 2013. Pemanfaatan mikrob pelarut fosfat untuk mengurangi dosis pupuk P anorganik pada padi sawah. J. Agron. Indonesia. 41 (3): 188 – 195.
6. Pratama D. 2016. Mikrob Pelarut Kalium dari Tiga Lokasi Lahan dan Kemampuannya dalam Meningkatkan Ketersediaan Kalium [Tesis] Institut Pertanian Bogor (ID): Bogor.
7. Pagoray H. 2009. Biostimulasi dan Bioaugmentation untuk Bioremediasi Limbah Hidrokarbon serta Analisis Keberlanjutan [Tesis] Institut Pertanian Bogor (ID): Bogor.
8. Fatimah WNA. 2014. Keefektifan Kombinasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Unsur Mikro dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Cabai Merah [Skripsi] Institut Pertanian Bogor (ID): Bogor.
9. Santi LP, Sudirman LI, Goenadi DH. 2007. Potensi fungi pelapuk putih asal lingkungan tropik untuk bioremediasi herbisida. Menara Perkebunan. 75(1): 43-55.
10. Solaiman ZM, Lynette KA, Ajit V. 2014. Mycorrhizal Fungi: Use in Sustainable Agriculture and Land Restoration. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
11. Kurniawan F. 2014. Uji Efektivitas Mikrob Anti Hama, Anti Bau dan Dekomposer yang terkandung dalam Pupuk Hayati “Provibio” [Skripsi] Institut Pertanian Bogor (ID): Bogor.
12. Santi LP, Goenadi DH. 2010. Pemanfaatan bio-char sebagai pembawa mikroba untuk pemantap agregat tanah Ultisol dari Taman Bogo-Lampung. Menara Perkebunan. 78(2): 52-60.
13. Goenadi DH. 2017. Perbaikan sifat fisika-mekanis tanah dengan mediasi teknik hayati. Menara Perkebunan. 85 (1): 44-52.
14. Santi LP, Goenadi DH. 2008. Pupuk organo-kimia untuk pemupukan bibit kelapa sawit. Menara Perkebunan.76(1): 36-46.
15. Pranggapati AP. 2016. Hubungan Aktivitas Mikrob dan Enzim Urease terhadap Tingkat Kesuburan Tanah pada Pertanaman Padi, Jagung, dan Kedelai di Kabupaten Pandeglang [Skripsi] Institut Pertanian Bogor (ID): Bogor.
16. Carpenter RS. 2014. Inventor; Biowish Technologies Inc. Fertilizer compositions methods of Making and Using Same. Patent US 2014/0352376 A1.
17. Santi LP, Goenadi DH. 2017. Solubilization of silicate from quartz mineral by potential silicate solubilizing bacteria. Menara Perkebunan (85: 2).
18. Reetz HF. 2016. Fertilizers and their Efficient Use (Paris: International Fertilizer Industry Association).
19. Camenzuli D, Damian BG. 2013. Immobilization and encapsulation of contaminants using silica treatments: A Review. Remediation. 24: 49-67.
20. Ghorbani F, Sanati AM, Maleki M. 2015. Production of Silica Nanoparticles from Rice Husk as Agricultural Waste by Environmental Friendly Technique. Environmental Studies of Persian Gulf. 2(1): 56-65.
21. What Is the Difference Between Organic Fertilizer and Bio Fertilizer. 2016. [Diakses pada 23 Oktober 2017] https://www.linkedin.com/pulse/what-difference-between-organic-fertilizer-bio-frady-judy/.
22. Goenadi DH. 2006. Pupuk & Teknologi Pemupukan Hayati: Dari Cawan Petri ke Lahan Petani. Yayasan John Hi-Tech Idetama: Jakarta.